Aku membiarkan Reana tidur begitu lelap tanpa mengusik sedikitpun meski aku mulai kebingungan harus kemana arah yang harus dituju tiba-tiba dirinya menggeliat lembut, meski lembut geliatannya itu membuat bagian dada (*bukan buah dada) atasnya sedikit terbuka sehingga menyuguhkan pemandangan cukup membuat dadaku berdegup kencang seketika, darahpun berdesir hebat. Meski aku sering keluar masuk club malam dan pemandangan yang demikian sudah biasa aku alami, namun pagi ini aku benar-benar sulit mengendalikan pikiran kotorku. Kulit Reana begitu terlihat putih bersih mulus, aku rasa setiap lelaki normal mana pun akan mengalami hal yang sama denganku. Kulit bagian dadanya itu semangkin pancarkan keindahan bak kilatan mutiara ketika disinari mentari pagi yang mulai menampakkan dirinya tanpa basa-basi yang mana akan memberikan kehangatan bagi setiap mahkluk hidup penghuni alam. Mata nakalku pun seakan-akan enggan melepas pemandangan itu.
"Joe!!! Awas!!!" Riana berteriak, Reana telah membuka matanya. Aku pun kaget dan membanting stir kearah kiri badan jalan dan menekan pedal rem dengan kuat sehingga menimbulkan suara mencicit diaspal yang menyisakan bekas dari ban mobil berbentuk garis hitam. Entah dari mana munculnya tiba-tiba didepan ada sebuah sepeda motor yang dikedarai seorang anak lelaki umur 15 tahunan, spontan juga ikut berhenti setelah menekan pedal rem sepeda motornya yang jika tidak reflek ikut mengerem maka akan dihentikan oleh kap mobil bagian depan dan tidak terbayangkan apa yang akan terjadi.
"Maaf kak, aku kurang hati-hati nyetir. Konsentrasiku terbepacah kak..!" Aku pun angkat bicara dengan gugup dan raut wajah memucat.
"Oh iya Joe ayo kita turun! Lihat dulu adek itu, kasihan..." Reana tidak menjawab rasa menyesalku telah teledor menyetir mobilnya.
"Ya kak, kita turun...!" Hampir bersamaan kami pun turun menghampiri anak lelaki pengendara motor yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat kumenghentikan mobil, wajahnya pun masih pucat pasi dengan sedikit tangannya bergetar memegang stang motornya.
"Maap dek, kamu tidak kenapa-kenapa...?" Suara Reana terdengar lebih dahulu sebelum aku sempat berbicara. Terlihat wajah Reana bigitu khawatir sekali ketika melihat anak tersebut. Aku pun ikut mersakan kekhatiran yang dirasakannya.
"Oh...! Tidak apa-apa mbak. Aku yang salah, tidak hati-hati mengendarai motor. Aku tergesa-gesa mbak, maafkan saya mbak...!" Wajahnya pun tertekuk sendu merasa bersalah
"Loh... kok kamu yang minta maaf? Kita yang salah dek, yakin kamu tidak kenapa-kenapa dan baik-baik saja???" Reana malah terlihat kebingungan dengan pernyataan anak tersebut sambil milirik kepadaku seakan-akan meminta keyakinan bahwa anak tersebut memang tidak kenapa-napa.
"Hhmmm... syukurlah kalau begiti dek, maafkan juga saya tidak hati-hati berkendaraan. Maukan memaafkan saya dan mbak ini?" Aku akhirnya ikut bicara untuk memastikan anak itu keadaannnya benar-benar baik-baik saja.
"Iya mas, saya tidak kenapa-kenapa kok. Hanya kaget saja mas. Maafkan juga saya ya mas, mbak...!" Jawab anak itu sembari menyodorkan tangannya ingin bersalaman, Reana dan aku pun menyambut salamanya dengan segera dan tersenyum senang sekali setelah yakin anak tersebut memang tidak kenapa-kenapa.
"Memangnya kamu mau kemana dek?" Reana kembali bicara
"Mau ke apotik didepan itu mbak, membelikan obat untuk ibu saya yang lagi sakit. Sekarang ibu saya ada dirumah sakit kak." Sembari menunjuk kearah seberang jalan didepan kami berada.
"Owh... kalau begitu ayo barengan saja ke apotiknya dek. Kebetulan saya juga mau ke apotik hari ini, karena didepan sana ada apotik sekalian sekarang saja...!" Kata Reana
"Baik mbak, tidak apa-apa...!" Anak tersebut pun menyetujui permintaan Reana untuk barengan ke apotik didepan sana yang jaraknya tidaklah begitu jauh dari kami berhenti tadi.
"Ayo Joe...!" Reana mengingatkanku untuk segera kembali ke mobil dan pergi ke apotik. Kulihat dari spion anak tadi mengikuti pelan dari belakang.
Beberapa menit kemudian kami pun sampai di apotik yang dituju, aku dan anak lelaki tadi pun memarkirkan kendaraan masing-masing. Lalu kami masuk ke apotik tersebut, anak lelaki itu pun menyodorkan secarik kertas kebagian penerimaan resep, mungki itu resep dari dokter. Sementara Reana pun terlihat ketempat itu, namun tanpa memberikan secarik kertas pun. Hanya terlihat berbicara saja dengan penerima resep tadi. Entah apa yang dibicarakan aku tidak tahu, karena jarakku duduk cukup terbilang jauh, ditambah lagi hiruk-pikuknya suara kendaraan yang mulai ramai dijalanan luar sana. Aku pun mengeluarkankan gadgetku dari saku celana dan memainkan salah satu game yang ada sambil menunggu Reana dan anak lelaki itu selesai menunggu obat yang mereka pesan. Tidak berapa lama Reana pun menghampiriku tanpa anak lelaki tersebut, aku lupa menanyakan namanya.
"Ayo Joe kita pulang...!" Suara Reana kembali terdengar
"Kita pulang? Pulang kemana kak???" Aku malah jadi bingung ketika Reana berkata kita pulang
"Pulang kerumahku Joe keren baik hati sayang... emangnya kamu mau jadi security tanpa dibayar di apotik ini?" Reana tersenyum sedikit menggoda dengan gayanya yang lumayan lucu, senyumannya begitu indah tanpa dibuat-buat. Ah...Reana meamang wanita cantik... seandainya...
"Joe ayo, kok malah bengong gitu kamu?" Reana membuyarakan pikirinku yang sedang berangan-angan.
"E...eh... iya kak kita pulang kak...!" Jawabku gelagapan dan menyetujui ajakan kita pulang Reana.
Aku dan Reana pun kembali menuju tempat aku memarkirkan mobil Reana tadi. Kulihat motor anak lelaki yang tidak sempat aku tanyakan namanya tadi masih ada diparkiran tersebut. Kemudian kami pun kembali melanjutkan perjalan menuju pulang. Ya, pulang! Padahal aku sendiri tidak tau pasti rumah Reana dimana.
"Kita kejalan Edelwies III Joe...!" Reana menyebutkan sebuah nama jalan yang mana aku tahu jalan tersebut adalah lokasi berdirinya sebuah apartemen mewah yang ada dikota tempat ku menetap sementara untuk menuntut ilmu (kuliah) kebetulan aku adalah seorang mahasiswa teknik semester akhir disalah satu Universitas yang ada dikota itu.
"Ya kak...!" Jawabku singkat dan menuju jalan Edelwies III
"Ayo Joe, masuk jangan malu-malu. Anggap saja rumah sendiri yang nyonya besarnya lagi besama kamu. Joe dijamin aman..! Hehee... " Reana mempersilahkan aku masuk kedalam apartemennya sambil tertawa renyah namun merdu ditelinga, semabari bercanda, Reana mempunyai jiwa humoris juga ternyata.
"Ya kak, terima kasih. Tapi mohon maaf kak! aku harus segera pulang kekosanku. Sebelumnya mampir dulu ditempat semalam untuk mengambil motor yang masih tinggal disana kak...!" Aku sebenarnya baru tersadar dan ingat bahwa motorku masih di pelataran parkir tempat kubertemu Reana semalam.
"Masuk dulu Joe, ngopi dulu kita Joe! gak baik menolak ajakan nyonya rumah Joe, ntar kamu nyesal seandainya nyonya rumah marah dan loncat kebawah apartemen. Emang kamu mau tanggung jawab Joe...?" Aku tidak enak hati jika menolak ajakan Reana untuk masuk kedalam ruangan apartemennya, tapi lebih tidak enak lagi dua orang berlainan jenis hanya berduaan disatu ruangan yang sama. Meskipun aku sedikit liar dan sering keluar malam, aku masih tau mana yang wajar dan tidak wajar aku lakukan. Apa lagi ingat pesan orang tua dikampung jangan berbuat yang melanggar norma sesampai dikota tempat kamu menuntut ilmu nantinya. Kota itu penuh godaan, kami sebagai orang tua juga tidak akan mengekang kamu. Toh kamu sudah besar dan tahu membedakan mana yang baik dan tidak untukmu (pesan ayahku ketika aku memutuskan untuk kuliah dikota). Aku memang dari kampung yang hanya untuk menuntut ilmu agar tercapainya cita-cita yang aku ingankan, dan bisa membahagiakan kedua orang tuaku dikemudian hari setelah menyelesaikan kuliah dan bekerja kelaknya.
"Sudahlah Joe, tidak usah memikir yang macam-macam kamu. Aku tau apa yang ada dipikiranmu saat ini, santai saja, gak usah risih. Tadikan sudah saya bilang anggap saja rumah sendiri...!" Wajah reana terlihat kecewa dengan penolakanaku, berharap aku mau masuk.
"Bukan begitu kak, tapi aku...aku...tapi...aku..." Kembali kebingungan menjawab
"Ya tidak apa-apa jika kamu memang tidak mau dan keberatan untuk masuk Joe, kamu memang tidak pantas masuk ketempatku ini. Kamu terlalu baik, aku ini hanya sampah Joe. Terima kasih semua waktumu Joe yang telah berbaik hati menemani ku semalan dan sampai mengantarkanku samapai ketempat ini..." Reana berbicara dengan wajahnya semangkin membuat aku serba salah dan merasa berdosa menolak kebaikannya untuk sekedar menikmati secangkir kopi hangat yang akan disuguhkannya. Matanya memerah seperti ingin menangis, wajahnya cantiknya sendu seperti memendam kesedihan dan kecewa teramat dalam oleh penolakanku.
"Kak... maksud aku bukan begitu kak, aku tidak ada niat menolak kok. Tapi, memang harus kembali motorku kak...! Maafkan saya kak, telah membuat kakak sed...h...hi..sedh... loh kak??? Jangaaaaaan!" Belum selesai ucapanku yang terakhir, kulihat Reana dengan sedikit berlari mengarah kejendela aprtemennya. Sekilas kulihat Reana benar-benar menangis. Bahaya juga ini perempuan, benaran mau loncat seperti yang dia katakan tadi. Sensitif dan labil sekali jiwa Reana. Aku panik, gak terbayangkan jika Reana benar loncat dari atas gedung apartemen itu. Spontan aku masuk dan mengejarnya dan sesampai didekatnya aku pun berbicara
"Kak, jangan nekad dong! Mau bunuh diri ya? Bunuh diri itu dosa kak! Oke...oke! Aku akan masuk kak! Maafkan aku kak..! " Aku benar-benar panik dan ketakutan.
"Hhihiihi, siapa juga yang mau bunuh diri. Saya masih waras Joe...! Kamunya saja yang panikan. Lihat! Kamu sudah masuk kok Joe, terima kasih ya kamu telah berbaik hati mau masuk meski dipaksa...! Hahaa! kamu itu lucu dan masih polos ternyata Joe mau-maunya kamu ditipu dengan akting pura-pura saya Joe...!" Reana tiba-tiba tertawa riang dan menertawai aku yang makin bingung dan sedikit mulut menganga dengan tubuh berdiri kaku. Telat mikir, Reana kemballi tertawa.
"Hiihiiihiihii...gemessssss....!!!" Tangan Reana pun memencet hidungku yang tidaklah mancung sehingga aku gelagapan.
"Kaaakaaaaaaaaaakkkkkkkkh! Sadis!" Aku pun beteriak keras setelah menyadari itu semua hanya akal-akalan Reana saja dengan berpura-pura sedih dan menangis nekad mau bunuh diri
"Hihiihii... Joe...Joe...Joe...! Tampang kamu saja yang keren serta terlihat dewasa Joe. Tapi, masih polos..." Reana kembali tertawa, sementara aku hanya garuk-garuk idungku yang telah dipencet Reana tadi.
"Lagian motor butut kami pikirin Joe, itu motor kamu ada diparkiran. Lihat, dan buka mata kamu lebar-lebar...!" Kata Reana sembari menunjuk kebawah jendela apartemennya. Aku pum melihat kearah bawah sana. Astaga! Benar motorku memang ada disana. Kembali wajahku bingung, sejak kapan itu motor ditempat ini? Ck...ck... aku berdecak takjub dalam hati. Reana...Reana... Wanita keren. Ya sudah, aku pun tidak memikirkan motor bututku kata Reana tadi. Sudah pasti yang membawa orang suruhan Reana. Motor bututku memang tidak pake kunci ngidupinny. Rahasia!
Sementara Reana sudah beranjak dari pinggir jendela, dan terlihat sibuk menyeduh kopi dan menyedia beberapa roti. Kemudian menaruhnya di atas meja, dan memanggilku.
"Joe! Sini...sarapan dulu...'
"Okr kak Reana Cantik Menyebalkan....!" Kataku sembari menuju tempat Reana yang telah melahap roti yang tadi disediakannya tanpa mempedulikan ocehan sebalku. Ya menyebalkan, tapi hatiku tidak dendam. Malah merasa senang dan damai, Reana sebenarnya telah mencairkan kegundahanku memikirkan skripsi yang akan aku selesaikan segera. Ulahnya tadi telah menghiburku juga. Setelah tersadar bahwa aku dikerjai Reana tadi, sebenarnyabaku mau tertawa juga. Tapi rasa bingung melenyapkan tawaku, ditambah lagi hidungku di pencetnya dengan tiba-tiba. Pencetannya memang tidak keras dan menyakitkan. Kurasakan ada kehangatan dan kasih sayang saat itu, hati terasa damai, seakan-akan aku menemukan sosok seorang ibu yang sedang bercanda dengan anaknya. Bukanlah pencetan seorang Reana Wanita yang kulihat semalam. Sambil menikmati roti dan secangkir kopi, pikiranku kembali melayang pada kejadian beberapa jam lalu, yang mana oleh ulah mata nakalku memperhatikan geliat lembut Reana kami hampir celaka! Astaga... kotornya pikiranku pagi itu. Aku pun merasa bersalah dan berdosa... Ternyata didalam diri Reana tersimpan kebaikan, terbukti ketika dirinya begitu panik dan merasa khawatir akan diri anak lelaki yang hampir saja aku tabrak. Padahal jika Raeana mau bisa saja memintaku untuk segera berlalu dan meninggalkan anak lelaki bermotor itu. Tapi tidak dilakukannya.
"E...e...siKeren Polos bengong lagi...? Ada apa Joe? Dendam dengan ulah saya tadi ya...? Hihihi" Ternyata memperhatikanku, dan kembali tertawa menggoda penuh kemenangan berhasil menipuku dengan aktingya tadi.
"Hehe... tidak kok kak, aku tidak bengong. Meresapi betapa nikmatnya kopi seduhan kakak Reana ini. Pas sekali dengan seleraku. Jadi ingat kopi buatan ibuku dikampung..." Kataku menutupi apa yang ada dalam pikiranku agar Reana tidak banyak tanya. Aku mempuanyai pirasat Reana ini tidak bisa dibohongi.
"Oke, terima kasih ya Joe telah menikamtinya...!" Sahut Reana sambil menatap wajahku.
"Ya kak, sama-sama..." Aku pun membalas ucapan terima kasih tulus dari Reana.
"Eh, Pintar jugag kamu menyenangkan hati saya Joe. Apakah kamu akan selalu berkata begitu kapada setiap perempuan yang baru kamu kenal kemudian menyeduhkan ksecangkir kopi dan menagatakan rasanya sama dengan buatan ibumu? Wahhhh, jika benar jago merayu cewek juga kamu sepertinya Joe, sudah berapa korban cewek yang jatuh kepelukanmu Joe...???" Rean terus berbicara sambil mengerutkan keningnya penuh selidik dan tersenyum lucu menggodaku.
"Ah, kakak ini ada-ada saja...! Lupakan dan simpan saja pertanyaan kakak di lemari es kak. Hahaahaa!" Celetukku membalas canda Reana, karna aku tau pertanyaan Reana tadi hanya sebuah candaan belaka, mungkin agar suasana tidak jadi kaku.
"Oke deh...! Malu mengakuinya ya??? Hihihi... Makin terlihat polos dan lucu kamu Joe. Makin membuat aku gemes dan ingin memencet ulang hudungmu yang standar nasional itu Joe! Hihi...!" Reana kemabali tertawa melihat wajah cemberutku.
"Kakaaakkkk... jangan nyinyir seperti nenek-nenek ah!" Jawabanku ketus pasang wajah sebal dan mata dibesarkan. Suasana semangkin terasa akrab, aku hanya pura-pura marah saja, dan aku pun lupa bahwa sedang berada disatu ruangan yang sama dengan lawan jenis.
"Oke deh. Maaf... Joe Keren Polos Plontos...! Oke Joe, aku mau istirahat dulu Joe. Menyambung mimpiku yang tertunda tadi karena hampir nabrak anak lelaki ulah mana nakalmu itu Joe...! Hihii. Bye...Joe!" Reanapun beranjak dan langsung masuk ke dalam kamarnya dan hilang dari pandangangku
"Uhukhk!" Aku kembali tersedak yang kedua kalinya setelah semalam tesedak ketika mendengarkan pembicaraan Reana degan Lelaki Tampan tersibut...
Bersambung...
By: Abhenk Gokil